Siang itu udara panas sekali. Sepulang kuliah aku langsung masuk ke dalam kamarku, dan tiduran di atas ranjang. Tak berapa lama aku tiduran, terdengar ketukan pada pintu kamarku.
"Deni, kamu ngapain?" terdengar suara Tante Ida, ibu kost-ku, "Tidur ya?"
"Oh, enggak kok Tante", jawabku sambil membuka pintu kamar.
"Ada apa Tante?" tanyaku.
"Begini nih Den, nanti malem Tante harus berangkat ke Palembang."
"Ada acara apaan nih Tante?"
"Sepupu Tante menikah."
"Ooo gitu, trus apa hubungannya dengan saya, Tante? Tante mau ngajak saya ke Palembang ya?" tebakku asal.
"Bukan, ah kamu ini, Den. Ngg.. Tante mau nitip si Aryo ke kamu, soalnya Tante pergi dengan Oom, dan si Aryo nggak Tante ajak, kan dia harus sekolah."
Kemudian tiba-tiba Aryo nyelonong masuk kamar.
"Ada apaan nih Ma? Kok kelihatannya sedang ngobrol serius?"
"Ah, kamu ini!", kata Tante Ida, "Selalu saja pengen tahu urusan orang."
Aku hanya tersenyum sambil memandangi bocah kelas 2 SMU itu.
"Duduk sini, Aryo", kataku sambil menarik tangannya.
"Begitu lho, Den!" kata Tante Ida, "Soalnya dari anak-anak yang kost di sini, kamu yang paling sering di rumah, dan juga kamu yang paling lama di sini, kamu sudah Tante anggap seperti kakaknya Aryo."
"Ah, Tante ada-ada saja", kataku.
"Lho, apa hubungannya dengan saya?" tanya Aryo.
"Gini lho Aryo, 'ntar malam Mama ke Palembang sama Papa kamu. Trus, kamu nggak boleh ikut soalnya kamu nggak libur."
"Ooo soal itu", kata Aryo.
"Gimana Den? Tolong Tante ya?" pinta Tante Ida.
"Beres deh Tante, 'ntar kalo si Aryo nakal biar Deni cubit", kataku sambil menggelitiki pinggang Aryo.
"Makasih Den."
Akhirnya Tante Ida dan Suaminya naik kereta api ke Jakarta malam itu. Aku dan Aryo mengantarnya hingga ke Stasiun Tugu. Dalam perjalanan pulang aku bercakap-cakap dengan Aryo.
"Mas Den, Mama tadi siang ngomong apa aja tentang Aryo?"
Aku tersenyum, "Lho memangnya kenapa?", aku balik bertanya.
"Nggak pa-pa sih, Aryo kira Mama ngomong yang aneh-aneh tentang Aryo ke Mas Deni", kata Aryo.
Kupandangi bocah kelas 2 SMU itu, manis banget nih anak, pikirku. Kulitnya putih bersih, tinggi, dan badannya sedang.
"Lho, kenapa Mas Den? Kok ngeliatin Aryo aneh gitu?"
Aku tersenyum, "Nggak, Mas Deni pikir setelah diliatin lama-lama kamu kok nggak mirip ama mama papa kamu.. tapi mirip sapi!" kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Sialan Mas Deni!", maki Aryo.
"Eh, Mas Den, tadi temen Mas nelpon, namanya Reza."
"Oh ya? jam berapa dia nelpon?"
"Tadi pas Mas Deni kuliah, pesennya gini, VCD-nya udah dateng sekarang di tempat si DJ", kata Aryo.
"Oke, makasih. Tar habis ini saya mau ke tempat DJ", kataku.
"Udah, sekalian aja ini mumpung sedang jalan nih", kata Aryo.
"Nggak pa-pa nih? Kamu nggak keburu ngerjakan PR kan?" tanyaku.
"Ah, nyantai aja Mas Den, Aryo nggak ada PR kok", kata Aryo.
Aku membelokkan motorku menuju rumah DJ. Malam itu rasanya dingin sekali, jalanan basah karena hujan beberapa saat yang lalu. Aryo berpegangan erat di pinggangku, jantungku berdegup, namun aku berusaha biasa aja. Sesaat kemudian kami sudah sampai di rumah DJ. Setelah kutekan bel sekali, kakaknya mucul dengan ditemani Billy, anjingnya.
"Nyari DJ ya?" tanya kakaknya.
Aku mengangguk.
"Masuk aja, dia ada di kamarnya", kata kakaknya sekali lagi.
Kemudian aku segera masuk, menaiki tangga, dan Aryo mengikutiku dari belakang, kuketuk pintu kamar DJ.
"DJ, kamu di dalam?" kataku.
"Masuk Deni, ini ada Reza", katanya dari dalam kamar.
Sepertinya mereka sedang nonton VCD yang diomongin Reza tadi siang di telepon.
"Mendingan kamu beresin semua yang aneh-aneh, soalnya saya nggak sendirian!" kataku sambil tetap di depan pintu kamar DJ yang tertutup.
Aryo menjawil pinggangku, "Kenapa sih Mas Den?"
Aku hanya tersenyum, "Ah anak kecil mau tau urusan orang dewasa aja!"
Tak lama kemudian pintu kamar DJ terbuka, dan terlihat kamarnya yang berantakan. Reza sedang duduk-duduk sambil membaca majalah.
"Aneh banget nih posisinya?" kataku meledek mereka.
Reza mencibir, "Biarin", katanya.
"Eh Den, kamu sama sapa nih?" kata Reza sambil senyum-senyum kepada Aryo.
"Iya nih, kok ada brondong nyasar", timpal DJ.
Aryo keliatan sedikit bingung, tapi kebingungannya hanya sesaat karena ia sibuk mengamati kamar DJ yang aneh itu sambil melihat-lihat koleksi kasetnya.
"Heh denger ya, itu tuh anak Ibu Kost saya! Kalian nggak usah macem-macem deh."
"Mmm.. lumayan juga Den, mau dong semalem", bisik Reza.
"Matamu!" umpatku pelan.
"Lho, kok jadi marah?" tanya DJ.
"Soalnya saya juga mau", kataku tanpa rasa dosa, lalu kami bertiga tertawa keras-keras.
"Eh DJ, aku mo dipinjemin yang mana nih?" tanyaku.
"Enak aja minjem, ini tuh barang dagangan."
"Ayolah Jay..", rayuku.
Akhirnya rayuan gombalku membuahkan hasil. Kata DJ tiga film yang kupinjam bagus-bagus. Dan tak lama kemudian aku dan Aryo sudah berada di atas motor, pulang.
"Mas Den, Aryo boleh ikutan nonton?" tanyanya sambil senyum-senyum.
Aku menggeleng, "Jangan, kamu kan masih kecil!" kataku. Aku tidak mau dia tahu kalau ternyata yang di dalam VCD ini bukan seperti yang ada di benaknya.
"Ayolah Mas", pintanya.
Aku bingung, "Oke deh, tapi kamu pinjam aja satu, nonton sendiri aja di rumah, jangan di kamarku", kataku sambil menyusun rencana untuk minjem VCD porno yang biasa dari temanku.
"Asyik, makasih Mas!" katanya.
"Tapi besok aja, kamu kan malem ini harus belajar."
"Yahh, Mas Deni.."
"Udah besok aja", kataku. Dia agak sedikit kecewa.
Akhirnya kami sampai rumah, dan Aryo langsung masuk kamarnya di rumah induk. Kebetulan, pikirku. Aku segera menghidupkan TV dan menontonnya. Tidak berapa lama, perutku terasa sakit. Sepertinya karena aku makan sambel tadi sore, pikirku. Aku terburu-buru ke kamar mandi. Sekembalinya aku dari kamar mandi, aku terkejut ketika kudapati Aryo ada di dalam kamarku yang tadi lupa kukunci karena aku terburu-buru ke kamar mandi.
"Eh, Mas Deni, kok filmnya begini sih? Isinya kok cowok semua?", tanya Aryo.
Aku terdiam sesaat. "Iya nih, salah ngambil tadi.", jawabku sekenanya.
Mata Aryo terus saja mengikuti film yang sedang diputar tanpa berkedip. Sesekali dia menyentuh kemaluannya. Sepertinya dia menikmati filmnya, pikirku. Adegan di layar TV mulai memanas, satu persatu dari mereka mulai melepas celana dalam mereka. Aku duduk di sebelah Aryo, sambil kuelus punggungnya. Ia diam saja. Kulanjutkan elusanku di bagian dadanya yang bidang, turun ke perutnya, semakin turun. Aku menyentuh kemaluannya yang mengeras. Aku mencium bibirnya yang merah, sekali, ia diam saja.
Ketika kucium bibirnya untuk kedua kalinya, Aryo membalas, kaku. Sejenak aku memberinya kesempatan untuk bernafas. Kutindih Aryo di tempat tidurku, dan tanganku mulai mengusap-usap perutnya, dadanya. Aku mulai membuka kaos yang sedang dipakainya, dan terlihat dadanya yang bidang, kulitnya yang putih bersih. Aryo menggeliat-geliat ketika kuciumi lehernya. Kemudian Aryo membuka satu persatu kancing bajuku. Aku membiarkan ia melakukan hal itu. Kali ini Aryo berada di atasku. Aku membuka kancing celana jeans birunya, dan seketika itu pula kupelorotkan celananya. Terlihat celana dalamnya warna biru, dan sesuatu menonjol. Aryo mengerang keras ketika kupijat perlahan kemaluannya. Kuurut perlahan kemaluannya, dan dia tetap mengerang. Kuelus pantatnya yang padat berisi. Ketika itu dia telah berkutat dengan kancing celana jeans-ku. Segera saja dia memelorotkan celanaku. Kemaluanku sudah tegak berdiri di dalam celana dalamku.
Kemudian aku membuka celana dalamnya. Terlihat kemaluannya tegak seolah menantangku. Kukulum kemaluannya, dan kumainkan lidahku. Aryo menjerit tertahan. Ia memegangi kepalaku dan ingin mengulum kemaluanku yang tak kalah menantang, namun aku tak mau melepaskan kulumanku. Aryo memegang kedua pipiku, dan wajah kami sangat dekat saling berhadapan. Kami berciuman nikmat sekali, kemudian ia mencium leher dan dadaku, sambil mengelus ketiak dan punggungku. Lalu ia mengulum kemaluanku yang berbulu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, aku tidak tahan lagi, kuraih kemaluannya dan sesaat kemudian kami dalam posisi 69. Kukulum dan kuhisap kuat-kuat kemaluannya. Kulepaskan sesaat kulumanku pada kemaluannya.
"Aryo, Mas Deni mau keluar nih!" kataku.
Aryo tidak menghiraukanku. Ia hanya berkata tidak apa-apa. Lalu aku meneruskan menghisap kemaluannya, kumainkan lidahku. Tak berapa lama kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokanku, dia ejakulasi. Selang tak berapa lama, ketika aku sedang menikmati air maninya, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, dan keluarlah seluruh spermaku. Kami berdua terengah-engah setelah pertandingan itu. Kemudian dia duduk di pinggir ranjangku sambil melihat adegan-adegan yang masih saja berlangsung di layar TV. Aku duduk di belakangnya sambil menciumi leher belakang dan punggungnya.
"Kenapa, Aryo? Kamu nyesel?" tanyaku.
Ia menggeleng perlahan sambil memandangi wajahku.
"Lalu kenapa?" tanyaku.
"Nggak kok Mas Den, nggak pa-pa", jawabnya sambil menunduk.
"Mas Deni tahu Aryo bohong, sekarang cerita kenapa? Kalo Aryo nyesel, Mas Deni minta maaf, kejadian ini bener-bener sebuah kecelakaan."
"Ngga pa-pa kok.." jawab Aryo.
Lalu ia terdiam sesaat. Aku bener-bener merasa serba salah saat melihat wajah imutnya agak murung kali ini.
"Jujur aja Aryo, ada apa?"
"Oke deh, Aryo akan jujur. gimana kalo kita main sekali lagi Mas Den?", tanya Aryo sambil tersenyum nakal.
Lalu tanpa di komando kamipun mengulangi permainan yang telah kami lakukan tadi, bahkan kali ini jauh lebih dahsyat dari yang pertama hingga kamipun seperti kehabisan tenaga saat permainan di ronde kedua, dan kamipun tidur pulas sambil berpelukan. Sejak kejadian itu, Aryo semakin dekat dengan saya dan kamipun sering mengulangi perbuatan yang pernah kami lakukan itu.
No comments:
Post a Comment